Ahmad Mahfuddin

" jadikan ujian bagi kita terbiasa, merangkai gelap, agar kita torehkan warna warni kebersamaan, untuk saling menggenggam tangan, tiada waktu yang sulit di lalui, jika kita merasa saling menguatkan walau seberat apapun badai coba menguncang, seperti kapal yang tak pernah berhenti berlayar, walau setiap detik ombak mencoba menggoyang kapal, selamanya tetap menyibak samudera, dan ujian itu tak lagi berat, kalau kita terbiasa terbawa keseharian, sebagai makanan pembuka nikmat yang akan kita petik di kemudian hari "

30 Maret 2016

KERAJAAN BANTEN PRA ISLAM

SEJARAH TANAH BANTEN SEBELUM ISLAM


SEJARAH BANTEN PRA ISLAM

Sampai abad ke-16, toponim (nama tempat) "Sunda" menunjuk kepada daerah pesisir bagian barat pulau Jawa, lebih tepatnya di daerah Banten. Di awal abad ke-13, penulis Zhao Rugua dari Tiongkok menamakan "Sin-t'o" suatu kota dan daerah sekitarnya yang menghasilkan lada. Karena pada masa itu yang menghasilkan lada hanya daerah Banten, maka kini semua pakar sejarah sepakat bahwa "Sunda" tersebut itu Banten. Di sekitar tahun 1500, Shungfeng xiangsong, sebuah buku perjalanan dari Tiongkok, memakai kedua nama "Wan-tan" dan "Shun-t'a" untuk kota Banten. Di masa yang sama dua penulis Arab, Ibn Majid dan Sulaiman, menamakan "Sunda" pelabuhan yang letaknya paling barat di pantai utara pulau Jawa, yang hanya dapat mengacu ke Banten. Peta Portugis yang paling lama mengenai kawasan ini menyebut "Sunda" daerah muara sungai yang letaknya di bagian barat pantai utara Jawa. Naskah Portugis paling sering menamakan "Sunda", kadang-kadang "Bantam" bahkan "Sunda-Bantam", kota Banten sekarang.
Diperkirakan adalah orang Portugis yang pertama menimbulkan kerancuan dengan menamakan "Sunda" keseluruhan Jawa Barat[1]. Namun di akhir abad ke-16 orang Belanda meluruskan kerancuan ini. Setelah dalam perjalanan pertamanya ke Nusantara mendapat keterangan lebih banyak tentang Banten, mereka menulis bahwa "Sunda adalah pelabuhan Banten dengan bagian pulau Jawa yang paling di barat di mana lada tumbuh". Gambar ini sama dengan apa yang ditulis Zhao Rugua hampir 400 tahun sebelumnya.
Prasasti Kebonkopi II, yang ditemukan dekat Bogor dan ditulis dalam bahasa Melayu, mencatat bahwa tahun 932, seorang "raja Sunda" menduduki kembali tahtanya. Penggunaan bahasa Melayu ini menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya.
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 952 saka (1030 M), pusat kerajaan Sunda di bawah Maharaja Jayabupati, dinyatakan terletak di sekitar Cicatih dekat Cibadak, di pedalaman Jawa Barat, bukan di pesisir lagi.
Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang diragukan keasliannya, Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Saka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16 ini, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Namun naskah ini diragukan sebagai sumber sejarah.

Wilayah kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Historiografi
Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi)[rujukan?]. Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.
Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) saka (1030 - 1042AD).

Catatan sejarah dari Cina
Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan :
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."

Catatan sejarah dari Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."
Tulisan ini yang membawa kerancuan, dengan menyatakan bahwa kerajaan Sunda meliputi "sepertiga dari pulau Jawa", sedangkan pada masa Pires Sunda masih mengacu ke pelabuhan yang sekarang namanya Banten.

Berdiriya kerajaan Sunda
Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

KRETO JOWO

ono tangis kelayung-layung
tangise wong kang wedi mati
gedungono kuncenono yen wis mati mongso wurungo

ditumpakke kreto jowo rodane rodo manungso
ditutupi ambyang-ambyang disirami banyune kembang

Duh Gusti Allah kulo nyuwun pangapuro
ning sayange wis ora ono guno

Duh Gusti Allah pangeran hamba
Kulo niki nandang dosa
dosanipun kaleh perkara
Ingkang riyen dosa ing Tuhan
Kapindone dosa ing anak adam
Duh Gusti Allah kula nyuwun pangapuro

19 Maret 2016

ULAMA SUFI

Ada segolongan sufi beranggapan bahwa syariat hanyalah kulit dan isinya adalah hakikat/fakta. Anggapan yang demikian menunjukkan bahwa sufi tersebut tidak memperoleh pengalaman spiritual yang benar. Sufi yang masuk ke pengalaman spiritual yang benar tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang demikian. Sufi yang benar tidak membedakan syariat dengan fakta. Sebenarnya syariat terdiri dari kulit dan isi. Kulitnya syariat zahir dan isinya syariat batin. Penggunaan istilah 'fakta' adalah untuk merujuk kepada satu bagian syariat batin yang mendalam. Meskipun digunakan istilah fakta itu tetap juga bagian syariat. Kebenaran yang dinyatakan dengan jelas dan juga secara simbolik juga termasuk dalam bidang syariat. Ulama zahir fokus pada syariat lahir. Ulama yang lebih matang fokus pada syariat zahir dan syariat batin sekaligus, tidak dipisahkan.
Peraturan syariat hukumnya sama bagi semua orang Islam. Masyarakat dan ahli makrifat yang sempurna tunduk pada hukum dan peraturan yang sama, tidak ada kelonggaran bagi satu pihak dan penekanan pada pihak yang lain. Sufi yang masih baru atau yang keliru dan orang jahil yang bertaklid melulu mencoba membuang dasar syariat dengan mengatakan aturan syariat berlaku untuk orang yang belum sampai ke makam makrifat. Mereka beranggapan sufi hanya perlu mendapatkan pencerahan. Mereka beranggapan tujuan mematuhi syariat adalah untuk memperoleh makrifat. Bila tercerahkan sudah diperoleh aturan syariat dengan sendirinya gugur. Golongan ini berpendapat ahli makrifat yang melakukan ibadah hanyalah untuk memberi contoh kepada masyarakat dan dorongan kepada mereka untuk menuju ke makrifat. Mereka mengatakan syariat hanya harus dilakukan oleh orang yang masih baru dalam perjalanan spiritual sedangkan bagi mereka sendiri yang sudah mencapai makrifat tidak membutuhkan syariat lagi. Inilah paham yang kufur dan sesat.
Ada pula kaum sufi yang hanya mementingkan fakta, tapi fakta yang mereka maksudkan bukanlah syariat batin atau fakta kepada syariat. Mereka memiliki definisi sendiri tentang hakikat dan syariat. Bagi mereka syariat hanyalah kulit murni tanpa isi, tubuh tanpa nyawa. Isi atau nyawa tidak tergantung pada kulit atau tubuh. Mereka maksudkan fakta tidak tergantung kepada syariat. Sufi jenis ini membangun pemahaman berdasarkan pengalaman mereka semata-mata. Meskipun berpaham demikian mereka menghormati syariat karena itu datangnya dari Allah swt dan patut dimuliakan. Mereka tidak setuju dengan perbuatan mencampakkan syariat karena tindakan yang demikian menunjukkan tidak setuju dengan apa yang Tuhan lakukan. Sufi jenis ini adalah orang yang telah mengorbankan segala-galanya karena cinta mereka kepada Allah swt Keasyikan dan mabuk yang menguasai mereka menyebabkan mereka memasuki suasana pengalaman spiritual yang diistilahkan sebagai tingkat bayang, sehingga timbul pemikiran yang berbeda dari syariat. Namun sebagai orang yang mencintai Allah swt mereka muliakan syariat yang diturunkan oleh-Nya. Golongan inilah yang berhak dimaafkan bukan dikutuk tetapi paham mereka tidak dapat diikuti dan dipegang. Kata mereka yang melanggar syariat harus dianggap sebagai ucapan latah orang yang di dalam mabuk.
Sufi golongan ke tiga memahamkan syariat sebagai kombinasi kulit dan isi, tubuh dan jiwa. Mereka berpendapat memegang syariat lahir tanpa mencapai syariat batin adalah kurang berarti, sementara mengambil syariat batin dengan membuang zahirnya adalah tidak sempurna. Mereka berpaham bahwa seseorang dapat mengambil syariat lahir meskipun batinnya tidak mencolok. Bagi mereka orang yang fokus pada syariat zahir dan beramal dengannya sudah bisa menyelamatkannya di akhirat kelak. Golongan yang mengambil syariat lahir saja adalah mereka yang berkedudukan sebagai ulama zahir dan orang Islam publik. Mengambil syariat lahir saja tanpa batinnya dibolehkan tetapi mengambil syariat batin tanpa zahirnya adalah tanda mungkin. Kesimpulan golongan ini adalah keunggulan zahir dan batin ditentukan oleh hubungan mereka dengan Islam dan semua kebenaran yang ada dalam paham agama yang dikenal sebagai Ahli Sunah wal Jamaah. Seribu pembukaan dan penyaksian dalam alam kebatinan tidak dapat menandingi paham agama yaitu Tuhan tidak menyamai sesuatu apa pun. Golongan tersebut tidak cenderung dengan pengalaman spiritual yang bertentangan dengan kebenaran syariat meskipun sedikit. Bagi mereka pembukaan demikian hanyalah tes yang menyeret mereka ke tempat siksaan secara perlahan. Mereka adalah golongan yang mendapat petunjuk dari Tuhan dan paling layak diikuti. Mereka sebenarnya adalah ulama yang berhasil, diberi bimbingan dan petunjuk yang benar oleh Tuhan. Tuhan membantu mereka menyatakan kebenaran syariat dan Tuhan memberi mereka hadiah karena mendukung aturan syariat.
Sufi golongan ke tiga berbeda dengan golongan yang hanya mementingkan batin dan tidak sedikit pun mematuhi aturan syariat. Golongan yang memisahkan diri dengan syariat menyangka kebenaran yang dicari tidak ada dalam syariat. Mereka menyangka syariat hanyalah tubuh yang tanpa nyawa. Mereka berpegang kepada kebenaran yang muncul dari bayangan dan mereka melenceng dari arah yang menuju kepada kebenaran yang sejati. Akibatnya kewalian mereka hanyalah dalam perbatasan kewalian bayangan dan jarak mereka dengan Tuhan tidak melebihi tingkat Alam. Kewalian golongan ke tiga yang menggabungkan zahir dan batin syariat menemukan kebenaran sejati dan asli. Mereka mendapat petunjuk dan menemukan jalan kepada Zat Yang Hakiki, yang tiada sesuatu menyerupai-Nya. Mereka berhasil melewati kebenaran tingkat rendah. Mereka maju sampai ke penghujung jalan dan akibatnya mereka memperoleh kewalian cara kenabian. Tahap tersebut dicapai dengan cara tidak sedikit pun meragukan syariat dan tidak meninggalkan tuntutan syariat.
Golongan sufi yang berpaham syariat hanyalah kerangka kosong dan fakta yaitu kebenaran sejati berada diluar syariat, mendapat paham demikian melalui beberapa sebab. Sebagian dari mereka menjalani tarekat sufi hanya sampai ke tingkat bersatu dengan Tuhan. Mereka tidak melanjutkan perjalanan mereka melewati tahap tersebut. Ada pula yang mempelajari doktrin wahdatul wujud terlebih dahulu dan memulai perjalanan dengan membawa kepercayaan doktrin tersebut. Segala usaha ditujukan untuk mengungkapkan gagasan dan kepercayaan wahdatul wujud. Ketika mereka memulai perjalanan di atas landasan wahdatul wujud maka yang mereka temui dan alami adalah wahdatul wujud. Golongan ini juga berhenti pada tingkat bersatu dengan Tuhan dan meyakini bahwa yang ada hanya satu wujud yaitu Wujud Tuhan. Mereka membentuk keyakinan bahwa wahdatul wujud adalah kebenaran yang paling tinggi sehingga timbul anggapan bahwa wahdatul wujud adalah pegangan wali-wali. Mengaitkan wahdatul wujud dengan kewalian menambahkan keteguhan kepercayaan kepada doktrin tersebut. Mereka memandang hakikat agama melalui suluhan yang berdasarkan kepercayaan kepada satu wujud. Mereka memperkenalkan tauhid secara doktrin wahdatul wujud dan dengan lantang mengatakan syariat tidak memperkenalkan tauhid yang sebenarnya. Dari kalangan mereka ada yang mengatakan segala hal dalam syariat adalah syirik, hanya pegangan wahdatul wujud yang bebas dari syirik. Begitulah hebatnya pengaruh pengalaman spiritual dalam membentuk keyakinan tentang kebenaran agama dan tauhid.
Selain alasan di atas sikap dan pandangan pribadi seseorang sufi itu sendiri memisahkan syariat dari kenyataan. Sufi jenis ini berpendirian hidup dalam pengasingan lebih baik dari bercampur dengan orang banyak. Mereka berpendapat hanya sedikit saja fakta yang dapat ditemukan dalam syariat. Mereka berpendapat bidang fakta terbuka dalam fana, zauk dan mabuk ketuhanan. Oleh karena itu mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan berkhalwat dan beribadat sendirian tanpa mengambil bagian dalam bidang dakwah, berjihad dan melayani masyarakat.
Golongan yang dipimpin kepada penghabisan jalan menemukan bahwa syariatlah yang menunjukkan apakah kehidupan agama yang sebenarnya. Syariat tidak hanya mengajarkan aturan zahir yang diistilahkan sebagai syariat lahir, bahkan syariat juga membawa hal-hal spiritual yang meliputi iman, tauhid, mahabbah, syukur, sabar, ikhlas, takwa, ihsan dan lain-lain. Bidang kerohanian seperti pemikiran, perasaan, daya rasa, niat, keinginan dan lain-lain juga berada dalam syariat. Syariat yang mencakup hal zahir dan batin adalah Agama Islam yang lengkap dan sempurna. Ia mengajarkan kehidupan beriman, bertakwa dan ihsan yang sempurna. Apapun aliran tarekat harus menjurus kepada memperkuat keyakinan dan pegangan pada apa yang dikatakan oleh syariat bukan mencari kebenaran yang lain dari kebenaran syariat.

ISLAM

ada islam, di dalamnya ada syarat rukun, peraturan hukum, dalam segala hal, tak hanya cara beribadah, tapi juga bekerja, muamalah, jual beli, dll, dalam aspek lahiriyah kehidupan, makanya orang jika menjalankan segala peraturan dan cara hidup itu di namakan orang islam. segala aturan dan cara penerapannya di namakan sareat, dan hukum di dalamnya di namakan hukum sareat, islam itu perintah mencari keselamatan, yang menjakankan segala rukun islam di namakan orang yang menempuh jalan keselamatan, asal selamat saja, selamat di dunia dan akherat.
ada iman, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan, keteguhan, suasana hati dan segala macam aspek yang berhubungan keyakinan, semua berhubungan dengan batin seseorang, ruhani seseorang, hal ihwal keilmuan di dalamnya di namakan ilmu tasawuf, ilmu yang membentuk suasan hati ruhani, bagaimana teori membersihkan ruhani dari sifat tercela, dan mengganti dengan sifat terpuji.
menjalankan keduanya dalam bersamaan antara islam dan iman, atau sareat hakekat, di namakan ihsan, atau orang yang memperbagus ibadahnya, selalu berharap ibadahnya lebih berkuwalitas dan benar, menjalankan ihsan itu di namakan thoreqoh, tarekat, orang yang menjalankan tarekat di sebut salik, atau orang yang menempuh jalan.
seperti orang yang menyetir mobil, dia berteori dengan mobil yang di jalankan, bagaimana rodanya yang bagus, setirannya yang baik, dll tapi dia belum pernah menaiki mobil sama sejali. ada orang yang cuma berteori, dia berteori soal sareat dan hakekat, membahasnya siang malam, tapi tak menjalankannya, itu orang yang tak pernah menanam, jangankan panen. menanam saja tak pernah.
ada orang yang membahas teori sareat dan teori hakikat mengetahui semua macam nama benda dan perbuatannya, di pahami semua, juga dia menjalankan satu persatu, orang begini namanya orang itu menanam dengan mengetahui semua cara merawat tanaman bahkan tau semua nama hama pengganggu tanaman, dan tau solusinya, tau semua cara menanam dan bagaimana seharusnya, tapi juga dia menanamnya, itu seperti orang yang menanam sendiri, di ladangnya sendiri, merawatnya dan memanennya. orang seperti ini biasanya akan panen, walau panennya lama kadang sampai umur 70 tahun baru panen dari tanaman amaliyah yang di tanamnya.
dan ada orang yang memilih tau sedikir hukum sebatas yang di perlukan saja, juga tau soal tasawuf sekedarnya saja, orang ini lebih memilih menjalankan tak membahas teorinya, dan selalu menjakankan dengan tekun, tanpa harus paham apa maksudnya, di awal mula yakin dengan didikan guru, lalu kemudian berserah pada pengarahan Allah, karena hanya Allah yang bisa mengarahkan dan meletakkan landasan takdir, orang beginu di namakan orang thoreqoh, orang yang menempuh jalan, bukan berteori bagaimana berjalan, juga bukan sedang membahas bagaimana jalan di buat atau di lewati, tapi dia sedang berjalan di atas jalan. kesasar bisa jadi, karena memang dia tak tau kompas, dan gurunya yang menunjukkan arah, bukan gurunya pintar, cuma gurunya pernah menempuh jalan yang sama, dan orang ini paling cepat sampai tujuan, karena tak banyak bicara memperdebatkan teori dan pembahasan. tapi langsung praktek dan kepahaman di ketahui sambil jalan. sebab mengerti dan paham itu ada saatnya, ada kapasitasnya.